Pada Sebuah Titik

Pagi ini matahari tidak menyapa sesopan biasanya.
Dia menusuk bola mataku lebih tajam bahkan terasa melemparkan tinju tepat di saraf mataku.
Aku kembali mengusap-usap mataku dan berharap ini belum siang.
Ku lirik jam di sudut kamarku.
Astaga, aku terlambat” pekikku sembari meloncat dari tempat hibernasi ternyamanku.
Tak ada lagi waktu untuk menyapa gayung dan air.
Aku segera menggosok gigi, mendandani diriku secepatnya lalu menuangkan parfum sebanyak-banyaknya di sekujur tubuh.
Semoga ini tetap menjadi rahasia diriku dan seisi kamar ini.

Seperti terseret arus, aku melesat begitu saja.
Di depan pagar, ibu berdiri mematung melihatku belingsatan.
Aku kecup keningnya, cepat dan melesat.

Bulir-bulir keringat mulai membasah pelipisku. Punggung tanganku mengusapnya perlahan. Sesekali aku melirik jam tanganku, memastikan adakah sisa waktu yang cukup untukku? Aku hanya bisa berdiam, mengabaikan tanganku yang gemetar dan dadaku yang kencang berdebar.

Di depan sana terlihat jelas dirimu.
Seseorang yang selama ini hanya kujumpai lewat kicauannya di alam maya yang berisik.
Seseorang yang membuka kehidupannya terlalu vulgar lewat gambar-gambar diri dan segala postingan melalui event-event nan hebat.
Seseorang yang tak bosan wara-wiri di depan layar kaca dan kala engkau muncul kakakku selalu berteriak gemas.
Ia seolah rela kehilangan suaranya untuk meneriakimu.

Engkau kini sedang duduk beberapa kilometer saja didepanku, mengenakan kemeja garis-garis dan celana jeans biru pekat. Matamu tak pernah beralih dari layar handphone.
Memang kau begitu menyatu dengan dunia maya itu. Aku selalu berasumsi mungkin saja kau sangat berharap dilahirkan dari rahim salah satu jejaring sosial.
Aku membenarkan tanda pengenal ku. Mengeluarkan tape recorder dan notesku dari dalam ransel.
Ah, semoga saja didunia nyata ini kau akan berkata-kata seberisik kicauanmu di jagad virtual itu.

Aku berjalan mendekat kepadamu. Memberanikan diri menyapamu.
Kalau saja tak ada kewajiban yang melatar belakangi apa yang kulakukan saat ini, sudah pasti aku malas berhubungan dengan orang sepertimu.
Aku menarik nafas panjang, menatanya agar tak terlalu ribut saat aku sudah berada sangat denganmu.
Di kepalaku sudah berkelebatan berbagai macam yang ingin aku tanyakan kepadamu.
Tentu saja, sesuai dengan garis besar yang sudah dibicarakan dalam rapat redaksi semalam.

Kakiku mendadak kaku, padahal tinggal tiga langkah lagi untuk mencapaimu.
Uh, sebenarnya tak gunanya juga aku menggerutu, toh semuanya akan tetap berjalan dan aku harus tetap menulis tentangmu sesuai dengan yang dibutuhkan.
Oh, lebih tepatnya sesuai dengan nilai jual yang ada pada dirimu.

Selamat malam,” sapaku kepadamu yang tak langsung mendongak mencari tahu pemilik suara yang menyapamu. Huh.
Kau hanya mengangguk menandakan kau menerima kehadiranku.
Dengan tanganmu, kau memberiku isyarat untuk duduk berhadapan denganmu.
Kesal? Ya tentu saja. Aku berkedik, lalu duduk di tempat yang kau persilahkan padaku.

Tidak sopan” gumamku dalam hati.
“ehm, mas bisa kita mulai wawancara nya? ” kudengar suaraku berujar
Kau mendongakakan wajahmu menatap wajahku. Kau tersenyum “Yes, sure. Time is yours!”
Jleb. Senyum itu sungguh manis.
Kita lalu mengalir dalam sebuah percakapan panjang diselingi bercangkir-cangkir vanila latte.
Dan kau sungguh-sunguh bersahabat.
Aku sesekali curi-curi pandang ke arahmu.
Akh, kenapa aku ini. Itu bukan curi-curi pandang. Itu profesional.
Bukankah jika sedang berbicara kita harus menatap wajah lawan bicaranya?
Hingga akhirnya percakapan kita terhenti dengan sebuah deringan di ponselku.

Aku melihat nama yang tertera di layar ponselku. Aku mendesis pelan.
Berharap dering itu berakhir tanpa harus aku yang memaksa mengakhirinya.
Benar saja, dering itu  senyap dengan sendirinya. Aku bernafas lega.
Maaf,” ucapku lalu melanjutkan pembicaaraan denganmu.
Ah, belum juga usai dengan kalimatku, ponselku berdering lagi.
Aku menatap layar ponselku. Sekali lagi, masih tetap nama yang sama yang tereja di sana.
Jawab saja dulu,” oucch… kenapa harus diikuti dengan senyum itu lagi.
Milikmu, yang semena-mena memabukkan aku. Aku mengangguk.

Kudengar beberapa kata saja dari sang penelepon, lalu kujanjikan akan menelepon kembali jika aku sudah selesai dengan tugasku.
Entahlah, aku jauh lebih perlu mendengarkan ceritamu daripada yang lainnya.
Sungguh perasaan yang berbeda dengan yang ada pada awal aku akan menemui kamu.
Tadi. Ya, tadi, mungkin tak lebih dari satu jam yang lalu.
Dan sekarang, semuanya berubah. Tak seperti yang ada dalam pikiranku.

Aku serasa tak ingin mengakhiri malam ini. Ingin ku nikmati senyuman nya lebih lama.
Senyum yang membentuk cekungan sempurna di pipinya.
Suara tawa nya yang renyah begitu khas.
Namun waktu bukan yang teman tepat sekarang.
Akhirnya dengan berat hati kusudahi semua percakapan ini.Memasukan notes dan recorder kembali kedalam ransel.
Kau mengakhiri perjumpaan ini dengan sebuah ucapan terima kasih, senyuman dan salaman.
Ah, bisakah kau tak terus menggengam tanganku?
Genggaman yang menjalariku dengan perasaan hangat yang telah lama ku lupa rasanya.
Kau kini berlalu dan menghilang dalam kesenyapan malam.
Dan aku masih termanggu bersama ratusan kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutku sekarang.

****

Aku beranjak dengan setengah hati saat ibu bilang Roy mencariku di depan.

Aku menyambut Roy malas. Sudah kuusahakan menyembunyikan lusuh wajahku.di hadapannya.
Benar saja, Roy tahu pasti ada yang tidak beres denganku.
Tapi aku sudah hafal, meski dia mengerti, tak ada hal yang bisa ia lakukan sebagai solusi.
Sama, seperti yang terjadi selama dua tahun ini.
Sesungguhnya aku tak mengerti dengan yang dia ingini.
Namun ibu katakan aku harus bertahan, belajar mengerti berkali-kali.
Aku mendengus. Menarik nafas panjang. Menantikan berita apa lagi yang akan ia kabarkan.

Dengan muka bersemangat Roy bercerita lagi-lagi tentang kesuksesan firmanya, klien-klien tersohor yang di fasilitasinya, rencana-rencana kedepan bersama firmanya.
Arggh. Aku bosan terus menerus mendengar cerita yang sama.
Sudah tak ada lagi kita dan mimpi-mimpi besar kita. Semua itu entah menguap kemana.

Roy, sudah cukup. Aku lelah sekali!” kudengar suaraku berujar

Kamu kenapa sayang? banyak kerjaan kah di kantor?”

Ah, aku cape Roy dengan semua ini. Kau selalu saja sibuk dengan firma dan klien-klienmu. Seperti tak ada celah untuk kita berdua. Pernah kau datang dan bertanya apa kabarku? atau setidaknya bertanya tentang kita. Pernah?” nadaku mulai meninggi.

Bukan maksudku be” “Ah, sudahlah“. Aku memotong cepat
Lebih baik sekarang kamu pulang saja. Pulang dan jangan pernah kembali lagi. Aku telah lelah menanti dirimu yang dulu. Tapi mungkin kau sudah lupa jalan pulang kepadaku. Pulanglah kepada firma dan klien-klien terkenal mu itu saja. Jangan datang mencariku lagi

Aku berlari ke kamar dan membanting pintu kencang.
Dari ekor mataku kulihat Roy masih berdiri mematung sekaan tak percaya hari ini ada.
Aku tak peduli!

Entahlah, mungkin aku yang salah.
Atau siapa? Atau apa? Apa aku yang terlalu ingin menang sendiri.
Setidaknya aku bisa mengalah untuk semuanya, kepada Roy.
Perubahan baik tentunya yang aku harapkan. Atau aku yang terlalu berlebihan.

Sekarang aku terjebak pada hal-hal yang sudah tak bisa dilogika. Aku berlari pada sesuatu yang maya.
Sesuatu yang aku pun tak bisa meyakininya.
Aku lelah, aku ingin sesuatu yang bisa membuatku kembali tegak.
Sampai kapan? Aku hanya ingin memastikan yang aku cari. Itu saja.

Dan memang mungkin berhenti adalah jalan terbaik.
Berhenti untuk menanti seseorang yang mungkin sudah tak bisa lagi berubah dan berhenti untuk memulihkan kembali segenap kekuatan. Kekuatan untuk apa?
Ya kekuatan untuk bisa menanti lagi cinta-cinta baru yang mungkin akan menyapa.

Lelaki dari dunia maya itu? siapa tahu. Selalu saja ada peluang di dunia ini meskipun hanya 0.001%.

#AWeekofCollaboration

Tulisan kolaborasi: Masya Ruhulessin dengan Wulan Martina

6 thoughts on “Pada Sebuah Titik”

  1. ada pepatah menanti beruk di rimba punai ditangan dilepaskan,
    tapi kalau menyangkut cinta, selalu hilang logika
    sebuah fiksi yang menggoda… untuk dilanjutkan adakah pertemuan kedua? atau hanya sebuah asa? sebuah senyum yang menggoda..

Leave a reply to Masya Cancel reply