Minggu ke Tiga Belas

Minggu ke tiga belas. Gadis itu menempel nempelkan bedak dan mengoles oleskan lipstik tak sabar.
Semalam ia mengerjakan lukisan baru yang akan ia bawa hari ini pada pertemuan minggu ke tiga belas bersama lelaki itu.
Nama gadis itu Hasya,seorang gadis petualangan yang ogah diatur oleh siapa pun,termasuk ayahnya yang menuntutnya menjadi seorang dokter.

Disini lah ia sekarang berakhir, berteman dengan segala pemberontakannya.
Di kontrakan yang penuh dengan peralatan lukisnya,dia menggambar mimpi mimpinya di sini.

Jam menunjukkan pukul 3.”Oh My God” rutuknya pelan
Lagian ngapain sih sya pake dandan segala.Hih.Kaya badut,telat kan” ia bermonolog ria seraya menghapus rias mukanya.

Ia melihat dirinya sekali lagi didepan cermin.
Oke, lebih baik begini saja. Tanpa makeup“. Hasya tersenyum puas.

Segera ia meraih ransel biru nya dan tak lupa lukisan yang telah dibungkusnya rapi.
Ia melesat kedalam mobil dan berdoa semoga saja kota ini tak macet parah.

***

Doa Hasya sepertinya terlalu jauh dari kenyataan. Kota ini sudah tak bisa lagi terpisahkan dengan kemacetan.
Mereka adalah kolaborasi sempurna dan bertanggung jawab pada semua yang tertunda.
Ponsel Hasya sedari tadi telah berteriak-teriak. Disetiap deringan telepon, Ia hanya menjawab dengan satu jawaban yang sama

Ia Bim, sebentar lagi ya. Ini masih macet. Sepuluh menit lagi nyampe kok“.

Ini sudah sepuluh menit ketiga yang artinya Hasya telah terlambat tiga puluh menit dari waktu yang telah disepakati.
Semoga saja lelaki itu tak beranjak pergi.

Dia adalah lelaki favorit Hasya selama 5 tahun terakhir, Bima namanya.
Tentu saja hasya memendam rasa paling istimewa untuk seorang bima.
Pada suatu sore yang mendung 3 tahun lalu, Hasya berlari kecil menyambutnya di taman itu.
Namun sore itu air muka bima penuh pertimbangan.
Ia menatap sabar wajah Hasya, menepuk pelan kepalanya.

Hasya, kita jangan sering ketemu ya. Aku bosan, lagipula hasya harusnya melukis,bukan disini ngobrol sama aku ” ujarnya
Bima memang suporter utama lukisan lukisan Hasya, dan bima juga sumber inspirasi Hasya untuk melukis.

“Kita ketemu setiap 6 minggu sekali.Kamu bisa menculikku seharian.tapi hanya hari itu saja. 24 jam. Kita buat pertemuan kita istimewa” Kata nya ringan

Hah? Bagaimana bisa, pikir Hasya. Bagaimana caranya ia meredam rindu selama 6 minggu.
Sehari tak mendengar kabarnya saja ia rasanya mati suri, hidup kembali ketika mendengar getar suara bima.
Namun ia tak pernah punya kuasa berkata tidak padanya. Dan disini lah dia, memilin cemas tentang pertemuannya yang ke tiga belas.

***

Akhirnya Hasya tiba di tempat yang telah disepakati, yakni sebuah kafe mungil diujung jalam.
Karena kemacetan yang begitu parah, akhirnya ia terlambat satu jam kini.
Hasya menyapu pandangan ke sekeliling mencari lelaki yang akan ditemuinya.
Ini sudah enam minggu mereka tidak bertemu. Entah sekarang bagaimana bentukannya Bima.
Ah, mau bagaimanapun kenampakan Bima, Hasya tetap aja kesengsem dengannya.

Pernah satu kali dalam perjumpaan mereka yang entah keberapa, Bima hanya datang memakai kaos oblong dan celana pendek selutut yang butut.
Rambut dan janggutnya dibiarkan panjang tak beraturan.
Tambah parah dia pake sandal jepit pula.
Katanya ada pekerjaan di studio yang tidak bisa ditinggal.
Dan Hasya tidak peduli dengan tatapan semua orang di taman terhadap mereka.
Ia bahkan merangkul mesra Bima sambil sesekali menyuapinya dengan kentang koreng yang baru saja Hasya beli.
Hasya benar-benar tenggelam dalam asmara.

Tapi hari ini Ia tak menemukan Bima. Dia berkali-kali menelepon ke tujuan yang sama – Bima.
Namun nomor yang dituju tak kunjung menjawab.
Hasya tertunduk lesu, hampir menanggis. Kali ini memang sepenuhnya adalah murni kesalahannya.

Tiba-tiba telepon genggam Hasya berdering.
Ada pesan masuk dari Bima. Hasya memejamkan matannya, semoga Bima tak terlampau kesal padanya.

Tunggu aku di kafe itu. Ada urusan sebentar. Jangan pergi ya sebelum aku datang“.

Hasya tersenyum lebar. Bima ternyata tidak marah padanya. Dia memutuskan untuk menanti.

***

Hasya duduk dan menerawang semua kemungkinan yang ada.
Ia memainkan es batu dalam teh lemonnya yang semakin melarut dengan air dan membuatnya semakin hambar.
Dengan kesalnya ia membanting ponselnya dan merutuk semua make up tutorial yang ia coba sebelum berangkat.
Empat  jam dia menunggu, dia berusaha menganalisa apa yang terjadi.
Senja beranjak turun ke peraduan dan terlelap. Langit lalu gelap, segelap hatinya.

Tiba tiba Bima muncul, mendorong pintu kafe itu pelan.
Hasya diliputi emosi yang menggedor-gedor rasionya.
Matanya panas menahan airmata.

“Kemana aja sih!” kata Hasya ketus

Bima tak bergeming, langkahnya berbalik arah mendorong pelan pintu kafe itu.
Hasya mengikuti langkahnya,menderapkan kakinya penuh emosi.
Keterlaluan! Sejak dulu dia bertindak sesuka hati!
Peraturannya yang menyiksa rindu.
Dan empat jam ini membuatnya jengkel.
Ia bertanya kenapa selalu dia yang punya kuasa penuh atas mereka berdua tidak adil.

Jalanan lengang, Bima berbalik padanya dan menyodorkan sebuah teddy bear.
Pikir Hasya berputar.
Boneka beruang?” batinnya sinis.
Tidak ada yang bisa menebus semua salah bima yang membutakan matanya atas nama cinta. Cukup.
Hasya lalu menyambut dan menepis boneka itu ke permukaan jalan yang dingin.

Bima tercenggang. Baru kali ini Hasya bertindak seperti itu.
Biasanya Hasya akan marah sebentar lalu kembali normal, seolah seperti tak ada yang terjadi sebelumnya.

Maafin aku Sya” Ujar Bima pelan.
Kamu pikir aku suka dengan semua ini? Aku bertahan karena aku mencintai kamu. Tapi kamu gak pernah mikir perasaan aku Bim“. Bima menatap Hasya lama lalu meraih tangannya.

Maafin aku Sya. Suatu saat kamu pasti tahu untuk apa semua ini kulakukan

Hasya hanya tersenyum kecut lalu mencoba melepas genggaman Bima.

Aku bukan Teddy Bear, Bima. Aku manusia pahamilah” Hasya segera beranjak meninggalkan Bima yang kini ditemani Teddy bear di tepi lantai jalan.

Hasya memang tak pernah tahu bahwa Bima sedang berusaha memuculkan pelangi di malam hari untuk Hasya.
Hasya terlalu cepat berlalu.

****

Tiga tahun berlalu sudah dan kini Bima  tak mendengar secuil kabar pun dari Hasya.
Hasya kini telah merintis karir menjadi pelukis yang cukup sukses.
Namun dari tiap harinya Hasya kehilangan kemampuan mencintai orang lain selain Bima, dia berjanji akan menjadikan Bima satu satunya cinta, tak terkecuali setelah kejadian di minggu ke tiga belas itu.
Cintanya masih mekar untuk Bima.
Bima juga sama tersiksanya dengan Hasya,  ia harus bergulat dengan kerinduan yang menyiksa selama tiga tahun terakhir.

Bertahun tahun ia harus bergumul dengan resah atas rasanya terhadap Hasya.
Untuk tetap dekat dengan Hasya ia harus mampu meredam kerinduan setiap 6 minggu yang akan ditebus dengan tatapan mata Hasya yang penuh cinta. Itulah syarat ayah Hasya untuk tetap bersamanya.
Sebenarnya ia tak perlu begitu, cukup jadi pemberontak seperti Hasya.
Namun ia tak ingin begitu. Ia ingin berusaha untuk Hasya, sampai titik paling akhir dari dayanya.

***

Di depan meja resepsionis galeri Hasya, terbungkus manis sebuah paket tanpa nama pengirim.
Hasya membawanya segera dan mengoyak bungkusnya tak sabar.
Barang-barang di dalam kotak itu menguapkan sejuta memori pada mata Hasya.
Sebuah boneka beruang dan surat.

“Hasya, by the time you read this letter, aku sedang berlayar menikmati angin segar di laut pasifik sana. Melupakanmu, atau mencoba mengingatmu. Tapi jangan pernah menyangka semua yang kulakukan atas nama kita itu tanpa alasan dan perhitungan. Every thing’s happened for a reason. Ini hadiah terbaikku yang tak pernah tersampaikan dan terjelaskan dengan baik melalui lisanku. Malam itu kau memilih pergi dariku, dan aku terus menunggu.Dan kurasa hari ini waktunya kau mendengar sendiri pintaku untukmu malam itu.
Di dalam boneka itu ada rekorder yang kusiapkan hanya untukmu malam itu, sayang kau tak sempat mendengarnya.”

Hasya merogoh bagian dalam boneka tersebut, dan menemmukan ujung dingin tombol play perekam tersebut, dan ia mulai mendengarkan dengan seksama Suara deham bima memulai rekaman itu.

Hai hasya, hari ini minggu ke tiga belas. Ah, setiap hari tanpa kamu itu adalah siksa. Paling tidak buat ku sih, mudah mudahan buatmu juga. Hasya, aku mau menjadi yang paling pertama yang menyaksikan kelahiran master piece mu, menjadi penggemar paling abadi dari karya karyamu. Aku mau kamu dalam hidupku, bukan hanya untuk sehari dalam 6 minggu,tapi selamanya dalam hidupku. Will you marry me?

Jeda pada rekaman itu membuncahkan segala emosi dalam diri hasya.
Ia memejamkan mata dan menerawang jauh. Ini harus menjadi akhir dari penantiannya?
Ah tapi semua terlambat.

Aku harus bagaimana?” tanyanya lirih.

Yang ia tahu, ia ingin menitipkan pada semilir angin pasifik yang hinggap di telinga Bima.

Aku mencintaimu

– Tulisan kolaborasi yang tertunda – dikeroyok selama dua hari bersama Movi Riana – I adore you my Naga Pink :*

16 thoughts on “Minggu ke Tiga Belas”

  1. nice story Masya…
    tapi banyak banget typo-nya.

    so far dari semua cerita kolaborasinya, belum berhasil membedakan mana yang bagianmu mana yang partnermu.

  2. gimana caranya kolaborasi masya, tidakkah sulit dua karakter berbeda yang saling ingin menonjolkan egonya, bisa ngebalnd dalam satu cerita?

  3. pasti lelakinya seperti reza rahardian! aku bisa nih bedain mana tulisan mba masya dan ka movi, but overall keutuhan ceritanya sangat worth it. ah harusnya lamaran itu terjadi tiga tahun yang lalu 🙂

Leave a reply to Jusmalia Oktaviani Cancel reply