Evolusi Cinta

Malam ini persis seperti tiga malam minggu sebelumnya saat kita bersama. Selalu saja ku jumpai pemandangan yang sama di teras rumahmu. Kau duduk diatas kursi sambil membolak-balik buku ditanganmu.
Sesekali kau mengalihkan pandangan padaku, bercerita sebentar lalu kembali tenggelam dalam buku itu. Lalu aku, masih saja tetap disini memaknai setiap gerak-gerikmu dan berharap kau lebih sering memandangku.
Kau begitu larut dalam buku yang sudah tiga minggu kau tekuni, buku ” On the Origin of Species“.
Katamu kau begitu terpesona dengan buku itu, bahasanya yang cerdas, konsep-konsep evolutifnya yang menawan.
Terlebih lagi kau jatuh hati pada Charles Darwin, sang penulisnya.
Kau bahkan berharap Darwin hidup kembali di zaman sekarang. Katamu dia sosok lelaki yang sempurna.
Aku hanya bisa tersenyum mendengar ceritamu.
Aku juga seorang lelaki, namun apakah aku harus menjadi sempurna seperti Darwin untuk memdapat perhatianmu seutuhnya?

Kau semakin bersemangat membalik lembar demi lembar kertas dari buku tebal yang pertama kali terbit tahun 1859 itu.
Jujur saja pada awalnya aku tak sepenuhnya memahami tentang apa yang kaubaca dan semua kegemaranmu mengenai evolusi yang terjadi menurut Darwin itu.
Bukan karena aku penganut teori penciptaan yang diajarkan agama-agama pada masa modern ini, tapi memang aku sama sekali tidak tertarik dengan biologi. Tapi, sejak kaupilih biologi sebagai jurusan yang akan kau tekuni hingga nanti kau menyandang gelar sarjana sains, mau tak mau aku juga harus terjun ke duniamu ini.
Seperti saat ini, aku menemanimu melahap semua isi buku itu, dan seringkali kau bercerita tentang teori-teori biologi yang akhirnya pun harus kulahap juga.
Namun bukannya perhatianmu yang kudapat setelah semuanya kujalani, kau bahkan semakin asyik dengan buku Charles Darwin-mu.

Cinta memang begitu, bukan? Kalau ada yang mengatakan aku tolol, bodoh atau bahkan gila karena cinta, aku hanya tersenyum, karena yang kutahu, cinta memang seperti itu, cinta tidak pernah mengikuti arus logika.

Udah ah, besok lagi aja aku lanjutin”, katamu sambil meletakkan pembatas buku pada halaman terakhir yang kau buka, lalu kaututup buku itu.

Gimana? Udah nambah lagi ilmunya?” Sahutku sambil tersenyum melihatmu.

Gak begitu banyak yang sih, tapi lumayanlah

Jadi, kita mau kemana? Kamu udah makan belum?

Belum sih, tapi aku males makan deh malam ini. Lihat aja tangan aku udah gede gini, aku mau diet aja

Ya udah, jadi mau kemana? Nonton?

Bentar ya

Kemudian kau masuk ke dalam rumah, dan beberapa menit kau kembali lagi ke teras. Awalnya kupikir kau akan berdandan sebelum kita pergi ke bioskop, tapi kau malah kembali dengan buku yang lebih tebal lagi. Lagi-lagi aku masih belum mendapat perhatianmu.

“Aku kurang mirip Darwin ya?” Kau mengentikan langkahmu seketika dan berbalik menatapku heran.

Kamu lapar?” kau bertanya tak acuh sambil kembali melangkah.

El, aku serius!

Aku juga Daniel. Kamu kurang makan ya? Pipimu semakin terlihat tirus“.

Aku hanya tersenyum malas. Aku tidak pernah kekurangan makan, tidak sekalipun.  Yang menyedot seluruh ragaku hingga seperti ini ya kamu Elina. Kamu.  Tapi mungkin kau tidak bisa memahami ini semua semudah kau memahami teori Evolusi.

Elina,

Hmm

Kamu tahu kan, spesies yang bertahan dari seleksi alam itu spesies yang paling adaptif ?” Tanyaku.

Iya, iya… terus?

Hampir semua hal dalam dunia ini berevolusi, termsuk sebuah hubungan. Coba kamu bayangin kalau hubungan kita yang berevolusi dari yang sebelumnya biasa-biasa aja, supaya bisa jadi lebih baik dan lebih harmonis.” aku tersenyum.

“Maksud kamu?” kau masih saja tak menangkap apa yang ingin kusampaikan.

Kau tahu El, semua ini kulakukan untukmu. Masuk kedalam duniamu, menggemari semua yang kau gemari, hanya untuk mendapat perhatianmu.

Kau terdiam seperti biasa tanpa ekspresi.

Kau tahu burung Finch? Katamu memecah suasana

Aku mengangguk pelan.  Bagaimana aku tidak tahu, telah kulahap bulat-bulat setiap lembar buku Darwin itu

“Mereka beradaptasi karena mereka terisolir dan alam tempat mereka hidup memaksa mereka berlaku seperti itu” Kau menatap mataku. Selau saja ada kehangatan yang menghambur dari sana.

Lalu apakah kita sedang berada di negeri antara berantah yang kejam hingga kita perlu berubah Daniel?? Kau dan aku individu yang bebas, mengapa kau mempelajari sesuatu yang tidak kau suka? Apakah terlalu naif jika aku menanti kau menjawabku dengan bahasa rancang bangun, setidaknya seriusi pekerjaanmu dulu lah“.

Aku kaget bukan main mendengar jawabanmu.
Harus kuakui, memang aku seperti tak peduli dengan kehidupanku sejak aku mencintaimu.
Aku tak ingin menyianyiakan setiap detik yang kupunya tanpa memberikan perhatianku kepadamu.
Tapi dengan jawabanmu itu, aku seperti mampu melihat sekitarku yang selama ini kuanggap tak penting.
Kau benar, aku tak seharusnya terlalu tenggelam dalam dunia yang sesungguhnya bukan duniaku.
Aku harus mampu menciptakan duniaku dan duniamu, agar nyaman menjadi dunia kita. Yang tanpa ada kepentinganku atau kepentinganmu di dalamnya, yang ada hanya kepentingan masa depan kita.

Maafkan aku El“. Kau tetap melangkah, diam.

Aku langsung menarik tanganmu yang sudah berjalan beberapa langkah mendahuluiku, tanda meminta berhenti sekejap.
Kau berbalik dan tersenyum sambil mendekatkan dirimu padaku.

“Tak ada yang perlu dimaafkan sayang” ujarmu seraya mengelus pipiku.
Kau tahu mengapa aku diam membiarkanmu masuk ke duniaku?” Aku menggeleng.

Mana aku tahu, aku selalu yakin sikapmu seperti itu. Namun itu tidak pernah menggangu ku, malahan sikap sperti itu yang membuatku jatuh hati padamu setiap hati.

Aku ingin melihat kesungguhan mu dalam mencintaiku dan itu sudah terbukti. Maaf aku membiarkan kau menanti begitu lama, membiarkanmu menangguhkan semua pekerjaannmu

Aku merengggut. Jadi selama ini semua seperti itu.

Jadi kau tak akan keberatan kalau aku menjadi kurang perhatian karena aku terlalu fokus dengan pekerjaanku?”

Kenapa aku harus keberatan? Aku tak pernah meragukan perhatianmu, aku juga tak pernah mempertanyakan cintamu. Aku yakin dengan cintamu. Terlebih jika kau benar-benar fokus dengan karirmu, aku tak akan menyalahkanmu. Aku tahu semuanya kau lakukan untuk masa depan kita,” kau selalu saja cerdas.

Baiklah kalau begitu, El. Terima kasih, kau telah membuka mataku, dan menjadikannya lebih jelas menatap masa depan kita,”

Sama-sama, Danielku,” Kau menepuk pipiku dengan lembut.

Aku tersenyum. Kemudian aku berlutut di hadapanmu, kukeluarkan sebuah cincin yang sejak tadi telah kusimpan di saku kemejaku. Kusodorkan cincin itu kepadamu.

El, aku tahu kau masih satu tahun lagi menyelesaikan kuliahmu, tapi…,” aku alihkan pandanganku tepat ke matamu, “aku ingin kita lanjutkan hubungan kita ke tahap yang lebih serius. Maukah kau menjadi pendamping hidupku, selamanya?

Kulihat mata indahmu penuh dengan air mata yang berkumpul di sudutnya.

Aku…,” sebelum sempat kau lanjutkan kata-katamu, air matamu mulai menetes, kau terisak. “Aku bersedia,” kuraih jemarimu, lalu kumasukkan cincin itu ke jari manismu. Sangat indah saat kau memakainya.

Aku berdiri, kau segera mendekap tubuhku. Erat. Seperti tak mau kau lepaskan.

Terima kasih, El.

~ Tulisan Kolaborasi Masya Ruhulessin dengan Putra Zaman

17 thoughts on “Evolusi Cinta”

Leave a comment