We Are Not Alone

Pernah merasa sendirian? Sendirian dalam arti mengalami kesepian yang begitu sesak dan berjuang seorang diri untuk keluar darinya. Saya? Tentu saja pernah dan untuk itulah saya menulis ini. Pada masa itu saya merasa seperti ada dalam lorong gelap yang begitu panjang, yang entah dimana ujung jalan keluarnya. Tak ada alat bantu yang bisa saya dijumpai untuk mengeluarkan saya dengan cepat dari sana. Lorong gelap itu bernama merelakan sebuah kematian. Mudah ditebak bahwa yang didapatkan saat itu adalah rasa kecewa dan marah yang begitu melimpah.

Suatu saat, setelah saya telaah kembali dengan cermat ternyata masalahnya hanya satu, kurangnya rasa bersyukur dalam diri. Selalu saja pertanyaan yang muncul saat itu adalah: Mengapa harus saya? Mengapa bukan dia saja? Mengapa Tuhan begitu membenci saya? Ya, dan segudang pertanyaan lainnya yang kurang lebih mirip seperti diatas. Tentu saja saya terus menyalahkan keadaan, menyalahkan orang sekitar bahkan menyalahkan diri sendiri dengan begitu hebatnya. Saya bahkan sempat berada dalam posisi “tidak mau bicara” dengan Tuhan. Berlebihan? Tidak juga. Itulah kemungkinan yang bisa terjadi juga pada anda saat kemarahan dan kecewa merasuki setiap sel dalam pemuluh darah.

Lantas adakah yang salah dengan perkara merelakan? Tentu saja tidak. Ada banyak hal didunia ini yang dapat kita ubah tentunya. Kita bisa saja membuat kurikulum baru di perguruan tinggi agar menjadi lebih efesien atau menemukan alat komunikasi yang lebih hebat dari smart phone. Namun jangan lupa bahwa ada beberapa hal dalam dunia yang tidak bisa kita ubah, termasuk kematian. Kematian itu pasti akan terjadi, hanya kapan waktunya hanya Sang Empunya hidup ini yang mengerti.

Selama saya berada dalam lorong gelap nan panjang itu, kemarahan dan kekecewaan berhasil membuat saya tak bisa melihat dan mendengar sekililing dengan jelas. Itu berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, hampir mencapai satu tahun. Hingga di suatu malam, saya terlibat dalam sebuah percakapan dengan teman. Ayahnya telah menghadap yang Maha Kuasa beberpa tahun silam. Namun yang mengejutkan saya adalah ketika dia bilang, “Saya bersyukur bahwa Tuhan mengambil Ayah saat itu. Kalau tidak, saya rasa saya akan tetap menjadi anak manja yang nakaal dan tidak bisa diandalkan seperti sekarang ini.”

Saya seperti tersengat petir disiang bolong. Dibenak saya langsung terlintas wajah ibu saya, kakak dan adik, serta sanak saudara lainnya. Apakah selama ini saya pernah mempedulikan persaan mereka yang juga kehilangan sosok yang sangat saya cintai itu? Bukan saya sendiri yang kehilangan, banyak orang disekeliling saya juga yang merasa kehilangan. Bahkan diseluruh jagad raya ini, bukan saya satu-satunya anak yang tidak lagi memiliki ayah. Masih banyak yang terluka dan meratap diluar sana.

Dan malam itu saya berbicara panjang lebar dengan Tuhan. Mungkin terlalu banyak yang tidak saya ceritakan meskipun saya tahu Ia Maha Mengetahui. Namun setelah itu, saya merasa dada saya begitu plong. Keesokan harinya saya berbincang lewat telepon dengan ibu saya. Ya, keberadaan kami terpisahkan oleh gunung dan lautan lebar saat itu. Hmm, sekarang juga saya masih menjalani LDR dengan ibu. Kami bercerita banyak hal, sempat juga menangis bersama. Dan pesan ibu saat hendak memutuskan pembicaraan adalah “Tetap bersyukur apapun perkara yang menimpamu saat ini.”

Dengan bersyukur setidaknya kita bisa melihat sesuatu dengan lebih jelas lalu kemudian mempunyai keberanian untuk merelakan. Jika sekarang masalah sepertinya datang bertubi-tubi dan tidak habisnya, hiruplah udara dalam-dalam, pejamkan mata dan jadilah tenang. Pikirkanlah bukan kita satu-satunya orang yang mengalami masalah pelik didunia ini. Ada orang lain dibelahan dunia lain yang juga merasakan hal yang sama, bahkan lebih parah. Jadi tetaplah bersyukur dan nikmati saja masalahmu hari ini. Belum tentu besok kita akan merasakan perasaan yang sama.

Dituliskan beratapkan awan Bandung yang mendung

 

“Tulisan ini disertakan dalam TGFTD – Ryan GiveAway”

banner-giveaway

20 thoughts on “We Are Not Alone”

      1. heu.. kapaaaan yaak, emang ka masya pernah nanya gitu? efek udah terlau sering yang nanya bandung aku di mana. hahahha :p

        aku di terusan buah batu, deket tol buah batu nya ka.. kaka dimana?

  1. Yap.
    Nasib kita bisa perjuangan, dengan doa dan usaha.
    Takdir, sudah digariskan sama Yang Maha Kuasa.

    Kita tak sendirian, akan ada sisi hidup yang terus bersinggungan sesama manusia.

  2. Menyengat juga nih tulisan. Menggedor relung hati saya-yang kebetulan juga lagi diterpa sepi dan sendiri. He. Moga saya bisa inten lagi berdialog sama Tuhan, juga manusia pemberi inspirasi di sekeliling saya.

  3. kayaknya setiap manusia mengalami masa itu, Cha..

    Saya juga pernah “ngambek” sama Tuhan, tapi cepat atau lambat kita menyadarinya pada akhirnya memang DIAlah satu-satunya sumber ketenangan hidup,

  4. Guess what, I’m one of those children that lost thier father, well in fact I’ve never had any, pernah juga ada rasa marah, kecewa, ngamber atau apalah, jujur masih terkadang, but it’s just life that need [I need] to be greatfull tho? yo wis dijalani dengan rasa syukur saja, gak mudah memang, tapi bisalah… 😉 *panjang ya?*

Leave a comment